Sabtu, Maret 07, 2009



1.THE CONE SNAIL
Bentuknya emang indah..... dan sepintas sangat tidak lah berbahaya. TAPI jgn salah dolo, dengan racun dari sengatnya (ujung pangkal mulutnya, yang tajam ituloh) yang bisa ditembakan kayak panah HARPOON, Bisa mengirimu ke alam baka
hanya dalam waktu 4 MENIT.Death Express.....saking hebatnya, tembakan panahnya bisa menembus baju Selam yang tebal sekalipun Syaraf2 akan menjadi malfungsi, korban akan jatuh kedalam keadaan"beku" dimana tak ada otot yang bisa di gerakan. Saking dashyat nya, racun binatang ini di kembangkan oleh CIA untuk senjata pelumpuh.


2.POISON ARROW FROG
Mereka adalah satu2nya hewan yang dikenal bisa membunuh manusia hanya dengan"SENTUHAN" Racunnya terletak di bukan di taring atau lidahnya...tetapi di kelenjar kulitnya.Touch it and you will be dead....kodok2 ini bisa melompat sejauh 2 meter tingginya.


3.THE LAZY CLOWN
Hidup di hutan amazon, di selatan Brazil .anggota binatang serangga "LONOMIA" nama aslinya Taturana Tatarana. Binatang ini sejenis ulat2 pohon yang biasa kita liat, tetapi yang berbeda dari ulat pohon kebanyakan, duri2nya yang berjumlah ratusan tsb menyimpan jus2 racun2 yang mematikan dan sudah memakan belasan korban tiap tahunnya. Racunnya adalah ANTICOAGULANT paling extreme yang pernah ada. ANTICOAGULANT bisa memecah belah dan menghancurkan susunan sel darah, hal yang mengerikan ttg binatang ini...km ga tau secara pastinya dimana dia merambat.... .next thing you know is, that your blood will break down in a great agonizing of pain



4.BEAKED SEA SNAKE
Kalau anda pergi liburan di kepulauan india dan asia, pantai-pantai daerah India atau di sekitar Teluk Persia, jgn heran kalo melihat binatang sejenis ular bisa berada di dalam laut lepas. Lebih bijaksana kalau anda menghindar dari binatang ini.nama ilmiahnya Enhydrina Schistosa. Racun binatang ini terkenal akan kesadisannya, seberapa sadis?? hmm, coba bayangkan 1.5 Milligrams.. .sedikit kan?? tapi jumlah racun segitu sudah lebih dari cukup untuk membuatmu "tidur bersama ikan2 di laut" untuk selamanya.Orang2 Singapore dan Hongkong sering menjadikan ular ini sebagai lauk makan malam.


5.STONE FISH
Binatang ini tidak seperti monster2 kebanyakan yang suka bersembunyi, bersiap2 saat mangsa mendekat dan menyergapnya.Cukup hanya terdiam tanpa kata, dia sudah bisa membunuh mangsa2nya, duri2 yang terletak di hampir smua bagian binatang ini bagaikan parade jarumracun HYPODERMIC.setiap duri cukup untuk membunuh para penyelam dalam hitungan menit. TAPI.....yang mengerikan bukanlah kematiannya. ..melainkan detik2 menjelang kematian. Karena dikatakan racun dari Ikan ini sangat teramat menyiksa hingga sang korban lebih baik mengamputasi bagian tubuh yang terkena racun tsb dari pada hidup sedetik pun dengan racun itu.


6.BOX "COFFIN" JELLYFISH
Chironex fleckeri adalah ubur2 berukuran kecil.besarnya hanya 16inch. Binatang unik yang mempunyai 24 pasang mata dan tentaclenya yang membawa ribuandosis nematocysts.Jarum2 Microscopisnya terangsang tidak hanya oleh keinginan "siempunya" tetapi juga oleh sentuhan lembut di kulit binatang ini.Eluslah binatang ini dan anda akan merasakan racun Syaraf (NEUROTOXIN) paling kuat yang pernah ada, FOR FREE!!! Sengatannya disebut juga "THE SEA WASP" yang di deskripsikan oleh ahli2 sebagai siksaan yang mengerikan.Ratusan bahkan Ribuan sengatan akan dirasakan oleh korban2nya.Hingga bisa menimbulkan efek SHOCK yang mengerikan dan merobek kulit2nya.Bayangkan ditusuk dengan ribuan jarum suntik yang berukuran kecil dan tipis dalam sekali waktu, kurang lebih itulah rasanya.Hal yang mengerikan ttg binatang ini:Racun dan sengatnya bisa membunuhmu bukan lagi dalam hitungan menit atau detik,tetapi murni dengan hitungan REFLEK.FAKTA ttg Ubur2 ini:- Tentacle beracunnya bisa disimpan untuk waktu yang cukup lama. bahkantentacle yang dikeringkan bisa di aktifkan bila terkena air.BoX Jellyfish sebenarnya bukan ubur-ubur, tetapi Cubozoans (binatang yangberbentuk kubus)-Bisa tumbuh sampai seukuran kepala manusia dewasa dan tentacle nya bisa tumbuh sampai 3 meter panjangnya.

Rabu, Desember 03, 2008

Blackberry Messenger Tanpa BIS / BES

Akhirnya nemu juga, thanks to my friend in Vietnam

Sebulan lalu gue beli BB 8830 world edition, pake HEPI, tapi browser BB nya gak jalan dan juga gak bisa download OTA, bete juga sih udah beli BB tapi gak bisa jalan normal, tapi kalo disuruh langganan BB nya kan belum ada di CDMA, kalo pake GSM udah gak mau karena mahal

Setelah sebulan ngoprek, gue pake jivetalk untuk chatting, lumayan beli $15 dengan coupon diskonnya IPRELAY1 kalo mau bisa dicobain, lumayan diskon $5 dari $20

Trus untuk jalanin BB Browsernya gue coba pelajarin lewat

http://sites.google.com/site/blackberrywithoutbisbes/Home/english

Work well, browsernya jalan dan bisa download OTA google maps, dan sampe sekarang oke aja tuh jalan normal di jaringan HEPI dari Mobile-8

Sekarang lagi nyari cara gimana bisa BBM via CDMA tanpa harus langganan hehehehe (www.ngarep.com)

Untuk urusan email kita percayakan saja ke Funambol, di link web vietnamnya ada kok cara untuk settingnya supaya bisa push email langsung masuk ke inbox messages

So buat rekans yang mau pake BB di CDMA, atau yg gak mau langganan BIS / BES, bisa di coba aja langsung

Jumat, November 07, 2008

Secarik Cerita Di Ambang Kebangkrutan Amerika Serikat

Kalau Langit Masih Kurang Tinggi
Oleh: Dahlan Iskan

Meski saya bukan ekonom, banyak pembaca tetap minta saya "menceritakan"
secara awam mengenai hebatnya krisis keuangan di AS saat ini. Seperti juga,
banyak pembaca tetap bertanya tentang sakit liver, meski mereka tahu saya
bukan dokter. Saya coba:

Semua perusahaan yang sudah go public lebih dituntut untuk terus berkembang
di semua sektor. Terutama labanya. Kalau bisa, laba sebuah perusahaan publik
terus meningkat sampai 20 persen setiap tahun. Soal caranya bagaimana, itu
urusan kiat para CEO dan direkturnya.

Pemilik perusahaan itu (para pemilik saham) biasanya sudah tidak mau tahu
lagi apa dan bagaimana perusahaan tersebut dijalankan. Yang mereka mau tahu
adalah dua hal yang terpenting saja: harga sahamnya harus terus naik dan
labanya harus terus meningkat.

Perusahaan publik di AS biasanya dimiliki ribuan atau ratusan ribu orang,
sehingga mereka tidak peduli lagi dengan tetek-bengek perusahaan mereka.

Mengapa mereka menginginkan harga saham harus terus naik? Agar kalau para
pemilik saham itu ingin menjual saham, bisa dapat harga lebih tinggi
dibanding waktu mereka beli dulu: untung.

Mengapa laba juga harus terus naik? Agar, kalau mereka tidak ingin jual
saham, setiap tahun mereka bisa dapat pembagian laba (dividen) yang kian
banyak.

Soal cara bagaimana agar keinginan dua hal itu bisa terlaksana dengan baik,
terserah pada CEO-nya. Mau pakai cara kucing hitam atau cara kucing putih,
terserah saja. Sudah ada hukum yang mengawasi cara kerja para CEO tersebut:
hukum perusahaan, hukum pasar modal, hukum pajak, hukum perburuhan, dan
seterusnya.

Apakah para CEO yang harus selalu memikirkan dua hal itu merasa tertekan dan
stres setiap hari? Bukankah sebuah perusahaan kadang bisa untung, tapi
kadang bisa rugi?

Anehnya, para CEO belum tentu merasa terus-menerus diuber target. Tanpa
disuruh pun para CEO sendiri memang juga menginginkannya. Mengapa? Pertama,
agar dia tidak terancam kehilangan jabatan CEO. Kedua, agar dia mendapat
bonus superbesar yang biasanya dihitung sekian persen dari laba dan
pertumbuhan yang dicapai. Gaji dan bonus yang diterima para CEO perusahaan
besar di AS bisa 100 kali lebih besar dari gaji Presiden George Bush. Mana
bisa dengan gaji sebesar itu masih stres?

Keinginan pemegang saham dan keinginan para CEO dengan demikian seperti
tumbu ketemu tutup: klop. Maka, semua perusahaan dipaksa untuk terus-menerus
berkembang dan membesar. Kalau tidak ada jalan, harus dicarikan jalan lain.
Kalau jalan lain tidak ditemukan, bikin jalan baru. Kalau bikin jalan baru
ternyata sulit, ambil saja jalannya orang lain. Kalau tidak boleh diambil?
Beli! Kalau tidak dijual? Beli dengan cara yang licik -dan kasar! Istilah
populernya hostile take over.

Kalau masih tidak bisa juga, masih ada jalan aneh: minta politisi untuk
bikinkan berbagai peraturan yang memungkinkan perusahaan bisa mendapat
jalan.

Kalau perusahaan terus berkembang, semua orang happy. CEO dan para
direkturnya happy karena dapat bonus yang mencapai Rp 500 miliar setahun.
Para pemilik saham juga happy karena kekayaannya terus naik. Pemerintah
happy karena penerimaan pajak yang terus membesar. Politisi happy karena
dapat dukungan atau sumber dana.

Dengan gambaran seperti itulah ekonomi AS berkembang pesat dan kesejahteraan
rakyatnya meningkat. Semua orang lantas mampu membeli kebutuhan hidupnya.
Kulkas, TV, mobil, dan rumah laku dengan kerasnya. Semakin banyak yang bisa
membeli barang, ekonomi semakin maju lagi.

Karena itu, AS perlu banyak sekali barang. Barang apa saja. Kalau tidak bisa
bikin sendiri, datangkan saja dari Tiongkok atau Indonesia atau negara
lainnya. Itulah yang membuat Tiongkok bisa menjual barang apa saja ke AS
yang bisa membuat Tiongkok punya cadangan devisa terbesar di dunia: USD 2
triliun!

Sudah lebih dari 60 tahun cara "membesarkan" perusahaan seperti itu
dilakukan di AS dengan suksesnya. Itulah bagian dari ekonomi kapitalis. AS
dengan kemakmuran dan kekuatan ekonominya lalu menjadi penguasa dunia.

Tapi, itu belum cukup.
Yang makmur harus terus lebih makmur. Punya toilet otomatis dianggap tidak
cukup lagi: harus computerized!

Bonus yang sudah amat besar masih kurang besar. Laba yang terus meningkat
harus terus mengejar langit. Ukuran perusahaan yang sudah sebesar gajah
harus dibikin lebih jumbo. Langit, gajah, jumbo juga belum cukup.

Ketika semua orang sudah mampu beli rumah, mestinya tidak ada lagi
perusahaan yang jual rumah. Tapi, karena perusahaan harus terus meningkat,
dicarilah jalan agar penjualan rumah tetap bisa dilakukan dalam jumlah yang
kian banyak. Kalau orangnya sudah punya rumah, harus diciptakan agar kucing
atau anjingnya juga punya rumah. Demikian juga mobilnya.

Tapi, ketika anjingnya pun sudah punya rumah, siapa pula yang akan beli
rumah?

Kalau tidak ada lagi yang beli rumah, bagaimana perusahaan bisa lebih besar?
Bagaimana perusahaan penjamin bisa lebih besar? Bagaimana perusahaan
alat-alat bangunan bisa lebih besar? Bagaimana bank bisa lebih besar?
Bagaimana notaris bisa lebih besar? Bagaimana perusahaan penjual kloset bisa
lebih besar? Padahal, doktrinnya, semua perusahaan harus semakin besar?

Ada jalan baru. Pemerintah AS-lah yang membuat jalan baru itu. Pada 1980,
pemerintah bikin keputusan yang disebut "Deregulasi Kontrol Moneter".
Intinya, dalam hal kredit rumah, perusahaan realestat diperbolehkan
menggunakan variabel bunga. Maksudnya: boleh mengenakan bunga tambahan dari
bunga yang sudah ditetapkan secara pasti. Peraturan baru itu berlaku dua
tahun kemudian.

Inilah peluang besar bagi banyak sektor usaha: realestat, perbankan,
asuransi, broker, underwriter, dan seterusnya. Peluang itulah yang
dimanfaatkan perbankan secara nyata.

Begini ceritanya:
Sejak sebelum 1925, di AS sudah ada UU Mortgage. Yakni, semacam
undang-undang kredit pemilikan rumah (KPR). Semua warga AS, asalkan memenuhi
syarat tertentu, bisa mendapat mortgage (anggap saja seperti KPR, meski
tidak sama).

Misalnya, kalau gaji seseorang sudah Rp 100 juta setahun, boleh ambil
mortgage untuk beli rumah seharga Rp 250 juta. Cicilan bulanannya ringan
karena mortgage itu berjangka 30 tahun dengan bunga 6 persen setahun.

Negara-negara maju, termasuk Singapura, umumnya punya UU Mortgage. Yang
terbaru adalah UU Mortgage di Dubai. Sejak itu, penjualan properti di Dubai
naik 55 persen. UU Mortgage tersebut sangat ketat dalam menetapkan syarat
orang yang bisa mendapat mortgage.

Dengan keluarnya "jalan baru" pada 1980 itu, terbuka peluang untuk menaikkan
bunga. Bisnis yang terkait dengan perumahan kembali hidup. Bank bisa dapat
peluang bunga tambahan. Bank menjadi lebih agresif. Juga para broker dan
bisnis lain yang terkait.

Tapi, karena semua orang sudah punya rumah, tetap saja ada hambatan. Maka,
ada lagi "jalan baru" yang dibuat pemerintah enam tahun kemudian. Yakni,
tahun 1986.

Pada 1986 itu, pemerintah menetapkan reformasi pajak. Salah satu isinya:
pembeli rumah diberi keringanan pajak. Keringanan itu juga berlaku bagi
pembelian rumah satu lagi. Artinya, meski sudah punya rumah, kalau mau beli
rumah satu lagi, masih bisa dimasukkan dalam fasilitas itu.

Di negara-negara maju, sebuah keringanan pajak mendapat sambutan yang luar
biasa. Di sana pajak memang sangat tinggi. Bahkan, seperti di Swedia atau
Denmark, gaji seseorang dipajaki sampai 50 persen. Imbalannya, semua
keperluan hidup seperti sekolah dan pengobatan gratis. Hari tua juga
terjamin.

Dengan adanya fasilitas pajak itu, gairah bisnis rumah meningkat drastis
menjelang 1990. Dan terus melejit selama 12 tahun berikutnya. Kredit yang
disebut mortgage yang biasanya hanya USD 150 miliar setahun langsung menjadi
dua kali lipat pada tahun berikutnya. Tahun-tahun berikutnya terus meningkat
lagi. Pada 2004 mencapai hampir USD 700 miliar setahun.

Kata "mortgage" berasal dari istilah hukum dalam bahasa Prancis. Artinya:
matinya sebuah ikrar. Itu agak berbeda dari kredit rumah. Dalam mortgage,
Anda mendapat kredit. Lalu, Anda memiliki rumah. Rumah itu Anda serahkan
kepada pihak yang memberi kredit. Anda boleh menempatinya selama cicilan
Anda belum lunas.

Karena rumah itu bukan milik Anda, begitu pembayaran mortgage macet, rumah
itu otomatis tidak bisa Anda tempati. Sejak awal ada ikrar bahwa itu bukan
rumah Anda. Atau belum. Maka, ketika Anda tidak membayar cicilan, ikrar itu
dianggap mati. Dengan demikian, Anda harus langsung pergi dari rumah
tersebut.

Lalu, apa hubungannya dengan bangkrutnya investment banking seperti Lehman
Brothers?

Gairah bisnis rumah yang luar biasa pada 1990-2004 itu bukan hanya karena
fasilitas pajak tersebut. Fasilitas itu telah dilihat oleh "para pelaku
bisnis keuangan" sebagai peluang untuk membesarkan perusahaan dan
meningkatkan laba.

Warga terus dirangsang dengan berbagai iklan dan berbagai fasilitas
mortgage. Jor-joran memberi kredit bertemu dengan jor-joran membeli rumah.
Harga rumah dan tanah naik terus melebihi bunga bank.

Akibatnya, yang pintar bukan hanya orang-orang bank, tapi juga para pemilik
rumah. Yang rumahnya sudah lunas, di-mortgage- kan lagi untuk membeli rumah
berikutnya. Yang belum memenuhi syarat beli rumah pun bisa mendapatkan
kredit dengan harapan toh harga rumahnya terus naik. Kalau toh suatu saat
ada yang tidak bisa bayar, bank masih untung. Jadi, tidak ada kata takut
dalam memberi kredit rumah.

Tapi, bank tentu punya batasan yang ketat sebagaimana diatur dalam
undang-undang perbankan yang keras.

Sekali lagi, bagi orang bisnis, selalu ada jalan.
Jalan baru itu adalah ini: bank bisa bekerja sama dengan "bank jenis lain"
yang disebut investment banking.

Apakah investment banking itu bank?
Bukan. Ia perusahaan keuangan yang "hanya mirip" bank. Ia lebih bebas
daripada bank. Ia tidak terikat peraturan bank. Bisa berbuat banyak hal:
menerima macam-macam "deposito" dari para pemilik uang, meminjamkan uang,
meminjam uang, membeli perusahaan, membeli saham, menjadi penjamin, membeli
rumah, menjual rumah, private placeman, dan apa pun yang orang bisa lakukan.
Bahkan, bisa melakukan apa yang orang tidak pernah memikirkan! Lehman
Brothers, Bear Stern, dan banyak lagi adalah jenis investment banking itu.

Dengan kebebasannya tersebut, ia bisa lebih agresif. Bisa memberi pinjaman
tanpa ketentuan pembatasan apa pun. Bisa membeli perusahaan dan menjualnya
kapan saja. Kalau uangnya tidak cukup, ia bisa pinjam kepada siapa saja:
kepada bank lain atau kepada sesama investment banking. Atau, juga kepada
orang-orang kaya yang punya banyak uang dengan istilah "personal banking".

Saya sering kedatangan orang dari investment banking seperti itu yang
menawarkan banyak fasilitas. Kalau saya mau menempatkan dana di sana, saya
dapat bunga lebih baik dengan hitungan yang rumit. Biasanya saya tidak
sanggup mengikuti hitung-hitungan yang canggih itu.

Saya orang yang berpikiran sederhana. Biasanya tamu-tamu seperti itu saya
serahkan ke Dirut Jawa Pos Wenny Ratna Dewi. Yang kalau menghitung angka
lebih cepat dari kalkulator. Kini saya tahu, pada dasarnya dia tidak
menawarkan fasilitas, tapi cari pinjaman untuk memutar cash-flow.

Begitu agresifnya para investment banking itu, sehingga kalau dulu hanya
orang yang memenuhi syarat (prime) yang bisa dapat mortgage, yang kurang
memenuhi syarat pun (sub-prime) dirangsang untuk minta mortgage.

Di AS, setiap orang punya rating. Tinggi rendahnya rating ditentukan oleh
besar kecilnya penghasilan dan boros-tidaknya gaya hidup seseorang. Orang
yang disebut prime adalah yang ratingnya 600 ke atas. Setiap tahun orang
bisa memperkirakan sendiri, ratingnya naik atau turun.

Kalau sudah mencapai 600, dia sudah boleh bercita-cita punya rumah lewat
mortgage. Kalau belum 600, dia harus berusaha mencapai 600. Bisa dengan
terus bekerja keras agar gajinya naik atau terus melakukan penghematan
pengeluaran.

Tapi, karena perusahaan harus semakin besar dan laba harus kian tinggi,
pasar pun digelembungkan. Orang yang ratingnya baru 500 sudah ditawari
mortgage. Toh kalau gagal bayar, rumah itu bisa disita. Setelah disita, bisa
dijual dengan harga yang lebih tinggi dari nilai pinjaman. Tidak pernah
dipikirkan jangka panjangnya.

Jangka panjang itu ternyata tidak terlalu panjang. Dalam waktu kurang dari
10 tahun, kegagalan bayar mortgage langsung melejit. Rumah yang disita
sangat banyak. Rumah yang dijual kian bertambah. Kian banyak orang yang jual
rumah, kian turun harganya. Kian turun harga, berarti nilai jaminan rumah
itu kian tidak cocok dengan nilai pinjaman. Itu berarti kian banyak yang
gagal bayar.

Bank atau investment banking yang memberi pinjaman telah pula menjaminkan
rumah-rumah itu kepada bank atau investment banking yang lain. Yang lain itu
menjaminkan ke yang lain lagi. Yang lain lagi itu menjaminkan ke yang
beriktunya lagi. Satu ambruk, membuat yang lain ambruk. Seperti kartu domino
yang didirikan berjajar. Satu roboh menimpa kartu lain. Roboh semua.

Berapa ratus ribu atau juta rumah yang termasuk dalam mortgage itu? Belum
ada data. Yang ada baru nilai uangnya. Kira-kira mencapai 5 triliun dolar.
Jadi, kalau Presiden Bush merencanakan menyuntik dana APBN USD 700 miliar,
memang perlu dipertanyakan: kalau ternyata dana itu tidak menyelesaikan
masalah, apa harus menambah USD 700 miliar lagi? Lalu, USD 700 miliar lagi?

Itulah yang ditanyakan anggota DPR AS sekarang, sehingga belum mau
menyetujui rencana pemerintah tersebut. Padahal, jumlah suntikan sebanyak
USD 700 miliar itu sudah sama dengan pendapatan seluruh bangsa dan negara
Indonesia dijadikan satu.

Jadi, kita masih harus menunggu apa yang akan dilakukan pemerintah dan
rakyat AS. Kita juga masih menunggu data berapa banyak perusahaan dan orang
Indonesia yang "menabung"-kan uangnya di lembaga-lembaga investment banking
yang kini lagi pada kesulitan itu.

Sebesar tabungan itulah Indonesia akan terseret ke dalamnya. Rasanya tidak
banyak, sehingga pengaruhnya tidak akan sebesar pengaruhnya pada Singapura,
Hongkong, atau Tiongkok.

Singapura dan Hongkong terpengaruh besar karena dua negara itu menjadi salah
satu pusat beroperasinya raksasa-raksasa keuangan dunia. Sedangkan Tiongkok
akan terpengaruh karena daya beli rakyat AS akan sangat menurun, yang
berarti banyak barang buatan Tiongkok yang tidak bisa dikirim secara
besar-besaran ke sana. Kita, setidaknya, masih bisa menanam jagung.(*)


========
" Lebih mudah memaafkan orang yang salah daripada yang benar .... "

" Kekuasaan akan berjalan baik bila dipercayakan kepada orang yang tidak
mencarinya sebab dia akan berusaha menjalankan sebaik mungkin.. " Prof.
Albus Dumbledore

Selasa, Oktober 07, 2008

Mengenal Komponen Perangkat RFID

Mengenal Komponen Perangkat Keras dari RFID (Radio Frequency Identification)


Tulisan ini merupakan pengantar untuk memahami RFID (Radio Frequency Identification) yang ditujukan bagi pembaca yang masih sangat awam dengan teknologi ini. Pada bagian awal dari tulisan ini dibahas tentang konfigurasi umum, dan kemudian berturut-turut akan dibahas mengenai metode kerja RFID, tag beserta jenis-jenisnya serta sebagai bagian akhir dokumen ini akan diberikan ulasan tentang packaging terhadap tag tersebut.

Konfigurasi Umum

Pada intinya, RFID merupakan teknologi yang berfungsi untuk melakukan deteksi dan identifikasi terhadap suatu obyek melalui data yang ditransmisikan melalui frekuensi radio. Sistem tersebut minimal memerlukan sebuah tag (yang berfungsi sebagai transponder), sebuah reader (yang berfungsi sebagai interrogator), dan sebuan antenna (yang berfungsi sebagai coupling device). Reader biasanya terhubung dengan dengan sebuah host computer atau perangkat lainnya yang memiliki kecerdasan untuk memroses lebih lanjut tag data dan memutuskan untuk mengambil suatu tindakan. Host computer biasanya merupakan sebuah bagian dari suatu jaringan komputer yang lebih besar lagi, dan dapat terhubung ke Internet.

Salah satu elemen penting pada RFID adalah data transfer. Data transfer terjadi ketika terjadi hubungan antara sebuah tag dengan sebuah reader, yang dikenal dengan coupling, melalui antenna baik yang terpasang pada tag tersebut maupun pada reader seperti yang diilustrasikan pada gambar berikut ini.


Metode Coupling

Coupling pada kebanyakan sistem-sistem RFID menggunakan metode magnetic(inductive) atau electromagnetic (backscatter). Metode yang digunakan tersebut bergantung pada harga, ukuran, kecepatan, dan jangkauan pembacaan serta keakuratan.

Pada inductively coupled RFID systems memiliki jangkauan yang pendek, yang biasanya dalam orde inchi. Jenis ini banyak digunakan sebagai access control yang hanya memerlukan jangkauan pendek. Pada kasus ini, sebuah tag hanya akan melakukan unlock atau pembukaan kunci terhadap sebuah RFID-enabled door lock ketika tag berada pada jangkauan yang cukup dekat dengan reader, sehingga pintu tidak akan pernah terbuka ketika seseorang yang membawa tag di dalam dompet atau sakunya berjalan melintasi pintu yang memang tanpa tujuan untuk membuka kunci pintu tersebut.

Pada umumnya komunikasi antara sebuah tag dengan sebuah reader terjadi melalui sebuah physical principle yang dikenal sebagai sebuah backscatter modulation. Pada proses ini, sebuah reader mengirimkan sinyal (yang pada dasarnya merupakan energi listrik) kepada sebuah tag, dan tag akan menanggapinya dengan memantulkan sebagian dari energi ini kembali ke reader. Sebuah charge device seperti sebuah kapasitor, yang berada dalam suatu tag, memungkinkan tag untuk dapat memantulkan kembali sinyal. Ketika tag menerima sinyal tersebut berarti kapasitor dalam keadaan mengisi energi listrik, sedangkan ketika tag memberikan tanggapan sinyal berarti kapasitor dalam kondisi discharge.

Elemen penting lainnya dalam RFID system adalah frekuensi untuk operasi antara tag dan reader. Pemilihan suatu frekuensi didorong oleh kebutuhan aplikasi seperti kecepatan, akurasi dan kondisi-kondisi lingkungan, yang mungkin melibatkan juga regulasi dan standar yang mengatur suatu aplikasi. Sebagai contohnya adalah RFID applications for animal tagging atau aplikasi RFID yang dipasang pada hewan, pada umumnya sudah beroperasi menggunakan pita frekuensi 135 KHz. Adapun frekuensi-frekuensi yang populer digunakan pada RFID adalah sebagai berikut:

Low Frequency (LF): kurang dari 135KHz
High Frequency (HF): pada 13.56 MHz
Ultra High Frequency (UHF) antara 433 MHz s/d 860 to 930 MHz
Microwave pada 2.45 GHz dan 5.8 GHz
Hardware components atau komponen-komponen perangkat keras dari sebuah RFID, yang bertanggung jawab untuk melakukan identifikasi, penerimaan dan pengiriman data, harus didukung oleh software components atau komponen-komponen perangkat lunak. Software components ini bertanggunjawab untuk melakukan manajemen dan rekayasa terhadap data yang ditransmisikan antara tag dan reader maupun antara reader dan host computer. Hal tersebut dapat diilustrasikan pada gambar 2 berikut.

Tag

Tag pada dasarnya merupakan transponder (yang berarti transmitter dan receiver) yang dapat menyimpan data untuk ditransmisikan kepada reader ketika tag tersebut 'diinterogasi' oleh suatu reader. Tag yang paling umum saat ini terdiri dari sebuah IC(Integrated Circuit ) yang dilengkapi dengan memory, yang pada dasarnya sudah menjadi sebuah microprocessor chip. Jenis lain dari tag adalah chipless yang tidak memiliki onboard IC. Chipless tags paling efektif digunakan untuk aplikasi-aplikasi yang sederhana. Berikut ini digambarkan sebuah microprocessor chip.

Ketika tag sedang "diinterogasi", terjadi proses penyimpanan dan pengiriman data dari memory. Sebuah tag dapat melakukan tugas-tugas mendasar (membaca/menulis dari/ke memory) atau memanipulasi data dengan berbagai cara. Ada beragam artibut dari memory pada tag, antara lain; read-only (RO), write once-read many (WORM), atau read-write (RW).

Biasanya semakin tinggi kemampuan menulis dari memory maka semakin mahal pula harga dari tag tersebut. Suatu aplikasi yang makin canggih juga biasanya menuntut kemampuan tag yang lebih tinggi. Namun demikian read-only tags tetap diperlukan karena untuk menghilangkan resiko adanya kekeliruan atau kesengajaan untuk melakukan over-writing terhadap tag data.

Jenis-jenis tag

Jenis tag yang populer digunakan saat ini adalah passive tags. Jenis ini memiliki beragam bentuk dan dapat diproduksi dengan biaya yang sangat rendah karena tidak memerlukan tenaga batere. Passive tags memperoleh tenaga dari proses emisi energi elektromagnetis yang berasal dari reader. Saat ini banyak solusi yang muncul dengan menggunakan passive tag technology, seperti animal tracking atau pelacakan binatang, asset management atau manajemen aset, industrial automation atau otomatisasi industri, electronic article surveillance atau keamanan elektronik, dan access control applications atau aplikasi-aplikasi pengendali akses seperti penguncian pintu.

Tidak seperti passive tags, active tags memiliki sebuah battery on board yang berfungsi sebagai sumber tenaga bagi tag dan memungkinkan adanya pembacaan pada jangkauan yang lebih jauh, akurasi yang lebih baik, pertukaran informasi yang lebih kompleks, dan kemampuan pemrosesan yang lebih kaya. Active tag yang mempunyai sumber tenaga sendiri tersebut tidak memerlukan reader untuk memberikan tenaganya untuk diolah dan digunakan sebagai sumber tenaga bagi active tag. Karena menggunakan batere inilah maka active tags memiliki usia hidup yang terbatas. Salah satu penggunaan active tags yang umum adalah untuk tracking terhadap obyek-obek yang mempunyai nilai yang tinggi dengan jangkauan yang luas seperti pengiriman military supplies di seluruh dunia.

Di samping active tags dan passive tags ada lagi kelas yang disebut semi-active atau semi-passive. Tag jenis ini masih menggunakan elektromagnetis yang berasal dari reader untuk "membangunkan" tag untuk dapat memfungsikan batere. Tenaga dari battery on board ini digunakan untuk mengoperasikan IC dan mengerjakan tugasnya. Tag jenis ini digunakan sejak tahun 80-an pada electronic toll collection. Batere yang digunakan pada tag jenis ini biasanya bisa berumur bertahun-tahun karena tenaga batere tersebut hanya digunakan ketika "dibangunkan" oleh reader.

Packaging

Tag dikemas dalam berbagai bentuk, ukuran, dan materi sesuai dengan kebutuhan aplikasi dari RFID. Dimensi dari tag seringkali tergantung pada bentuk dan ukuran antenna dari tag tersebut. Adapun contoh-contoh packaging dari tag tersebut adalah sebagai berikut:

Kartu plastik (dengan media seukuran kartu nama) untuk pembayaran otomatis.
Kartu kunci atau gantungan kunci untuk access control atau pengendali akses.
Bentuk-bentuk yang kecil yang dapat dimasukan ke permukaan kulit atau diminum (dengan media seukuran obat yang bisa diminum).
Bentuk yang bisa dikaitkan pada berbagai produk pakaian.
Memory merupakan bagian yang penting dari RFID systems yang berbasiskan IC. Parameter memory yang paling penting di sini adalah ukuran memory, di samping konfigurasi dan kecepatan memory. Pada EAS (Electronic Article Surveillance) biasanya digunakan 1 bit of memory yang harganya tidak mahal. Ukuran memory ini tergantung dari aplikasinya, dan pada EPC (Electronic Product Code) bisa membutuhkan lebih dari 2 kbits.

Sabtu, September 20, 2008

Top 10 Myths about the Brain

The brain is one of the most amazing organs in the human body. It controls our central nervous system, keeping us walking, talking, breathing and thinking. The brain is also incredibly complex, comprising around 100 billion neurons. There's so much going on with the brain that there are several different fields of medicine and science devoted to treating and studying it, including neurology, which treats physical disorders of the brain; psychology, which includes the study of behavior and mental processes; and psychiatry, which treats mental illnesses and disorders. Some aspects of each tend to overlap, and other fields cross into study of the brain as well.

These disciplines have been around in some form since ancient times, so you'd think that by now we'd know all there is to know about the brain. Nothing could be further from the truth. After thousands of years of studying and treating every aspect of it, there are still many facets of the brain that remain mysterious. And because the brain is so complex, we tend to simplify information about how it works in order to make it more understandable.

Both of these things put together have resulted in many myths about the brain. Most aren't completely off -- we just haven't quite heard the whole story. Let's look at 10 myths that have been circulating about the brain, starting with, of all things, its color.

Brain Myth 10: Your Brain Is Gray
­Have you given any thought to the color of your brain? Maybe not, unless you work in the medical field. We have all colors of the rainbow in our bodies in the form of blood, tissue, bone and other fluids. But you may have seen preserved brains sitting in jars in a classroom or on TV. Most of the time, those brains are a uniform white, gray or even yellowish hue. In actuality, though, the living, pulsing brain currently residing in your skull isn't just a dull, bland gray; it's also white, black and red.

Like many myths about the brain, this one has a grain of truth, because much of the brain is gray. Sometimes the entire brain is referred to as gray matter. Mystery writer Agatha Christie's famous detective Hercule Poirot often spoke of using his "little gray cells." Gray matter exists all throughout the various parts of the brain (as well as in the spinal cord); it consists of different types of cells, such as neurons. However, the brain also contains white matter, which comprises nerve fibers that connect the gray matter.

The black component is called substantia nigra, which is Latin for (you guessed it) "black substance." It's black because of neuromelanin, a specialized type of the same pigment that colors skin and hair, and it's a part of the basal ganglia. Finally, we have red -- and that's thanks to the many blood vessels in the brain. So why are preserved brains chalky looking and dull instead of spongy and colorful? It's due to the fixatives, such as formaldehyde, that keep the brain preserved.

From color, to sound -- the next myth may have you rethinking your musical choices.

Brain Myth 9: Listening to Mozart Makes You Smarter
Don't you just feel cultured when you tune in to a classical music station and take in an opera or a symphony by a great composer like Mozart? Baby Einstein, a company that makes DVDs, videos and other products for babies and toddlers incorporating classical art, music, and poetry, is a million-dollar franchise. Parents buy the products because they believe that exposure to great art (like Baby Mozart DVDs and CDs) can be good for their children's cognitive development. There are even classical music CDs designed to be played to developing fetuses. The idea that listening to classical music can increase your brainpower has become so popular that it's been dubbed "the Mozart effect." So how did this myth start?

In the 1950s, an ear, nose and throat doctor named Albert Tomatis began the trend, claiming success using Mozart's music to help people with speech and auditory disorders. In the 1990s, 36 students in a study at the University of California at Irvine listened to 10 minutes of a Mozart sonata before taking an IQ test. According to Dr. Gordon Shaw, the psychologist in charge of the study, the students' IQ scores went up by about 8 points. The "Mozart effect" was born.

A musician named Dan Campbell trademarked the phrase and created a line of books and CDs based on the concept, and states such as Georgia, Florida and Tennessee set aside money for classical music for babies and other young children. Campbell and others have gone on to assert that listening to Mozart can even improve your health.

However, the original University of California at Irvine study has been controversial in the scientific community. Dr. Frances Rauscher, a researcher involved in the study, stated that they never claimed it actually made anyone smarter; it just increased performance on certain spatial-temporal tasks. Other scientists have been unable to replicate the original results, and there is currently no scientific information to prove that listening to Mozart, or any other classical music, actually makes anyone smarter. Rauscher even said that the money spent by those states might be better spent on musical programs -- there's some evidence to show that learning an instrument improves concentration, self-confidence and coordination.

Mozart certainly can't hurt you, and you might even enjoy it if you give it a try, but you won't get any smarter.

Brain Myth 8: You Get New Brain Wrinkles When You Learn Something
When you think about how your brain looks, you probably picture a roundish, two-lobed gray mass covered in "wrinkles." As humans evolved as a species, our brains grew larger to accommodate all of the higher functions that set us apart from other animals. But in order to keep the brain compact enough to fit into a skull that would actually be in proportion with the rest of our body size, the brain folded in on itself as it grew. If we unfolded all of those ridges and crevices, the brain would be the size of a pillowcase. The ridges are called sulci and the crevices are called gyri. Several of these ridges and crevices even have names, and there are variations in exactly how they look from person to person.

We don't start out with wrinkly brains, however; a fetus early in its development has a very smooth little brain. As the fetus grows, its neurons also grow and migrate to different areas of the brain, creating the sulci and gyri. By the time it reaches 40 weeks, its brain is as wrinkled as yours is (albeit smaller, of course). So we don't develop new wrinkles as we learn. The wrinkles we're born with are the wrinkles we have for life, assuming that our brains remain healthy.

Our brains do change when we learn -- it's just not in the form of additional sulci and gyri. This phenomenon is known as brain plasticity. By studying changes in the brains of animals like rats as they learn tasks, researchers have discovered that synapses (the connections between neurons) and the blood cells that support neurons grow and increase in number. Some believe that we get new neurons when we make new memories, but this hasn't yet been proven in mammalian brains like ours.

If you've ever gotten the feeling that there were hidden messages in commercials, TV shows or movies, the next myth should interest you.

Brain Myth 7: You Can Learn Through Subliminal Messages
The concept of subliminal messages feeds into our suspicions about what the government, big corporations and media are really trying to tell us. A subliminal message (meaning, below "limen," or our conscious perception threshold) is a message embedded into images or sound meant to penetrate into our subconscious and influence our behavior. The first person to coin the term was James Vicary, a market researcher. In 1957, Vicary stated that he inserted messages into a showing of a movie in New Jersey. The messages, which flashed for 1/3000th of a second, told moviegoers to drink Coca-Cola and eat popcorn.

According to Vicary, Coke sales in the theater increased by more than 18 percent and popcorn sales by more than 57 percent, proving that his subliminal messages worked. Books published in the late 1950s and early 1970s outlined how advertisers could use techniques like Vicary's to convince consumers to buy their products. Some radio and TV commercials included subliminal messages, but many networks and professional associations banned them. In 1974, the FCC banned the use of subliminal advertising.

But did the messages work? Turns out, Vicary actually lied about the results of his study. Subsequent studies, including one which flashed the message "Call now" during a broadcast on a Canadian TV station, had no effect on viewers. The infamous 1990s Judas Priest trial, in which the families of two boys who committed suicide claimed that a song told the boys to do it, ended with the judge stating that there was no scientific evidence in their favor. Yet some people still claim that music, as well as advertisements, contains hidden messages.

So listening to those self-help tapes while you sleep probably can't hurt you, but they aren't likely to help you quit smoking, either.

When it comes to the human brain versus other animals' brains, does size matter? Check out our next myth to find out.

Brain Myth 6: The Human Brain Is the Biggest Brain
Many animals can use their brains to do some of the things that humans can do, such as finding creative ways to solve problems, exhibiting self-awareness, showing empathy toward others and learning how to use tools. But although scientists can't agree on a single definition of what makes a person intelligent, they do generally agree that humans are the most intelligent creatures on Earth. In our "bigger is better" society, then, it might stand to reason that humans should have the biggest brains of all animals, because we're the smartest. Well, not exactly.

The average adult human brain weighs about 3 pounds (1,361 grams). The dolphin -- a very intelligent animal -- also has a brain that weighs about 3 pounds on average. But a sperm whale, not generally considered to be as intelligent as a dolphin, has a brain that weighs about 17 pounds (7,800 grams). On the small end of the scale, a beagle's brain is about 2.5 ounces (72 grams), and an orangutan's brain is about 13 ounces (370 grams). Both dogs and orangutans are pretty smart animals, but they have small brains. A bird like a sparrow has a brain that weighs less than half an ounce (1 gram).

You may notice something important in all of those comparisons. An average dolphin's body weighs about 350 pounds (158.8 kilograms), while a sperm whale can weigh as much as 13 tons. In general, the larger the animal, the larger the skull, and therefore, the larger the brain. Beagles are fairly small dogs, at about 25 pounds (11.3 kg) maximum, so it stands to reason that their brains would also be smaller. The relationship between brain size and intelligence isn't really about the actual weight of the brain; it's about the ratio of brain weight to the entire body weight. For humans, that ratio is about 1-to-50. For most other mammals, it's 1-to-180, and for birds, it's 1-to-220. The brain takes up more weight in a human than it does in other animals.

Intelligence also has to do with the different components of the brain. Mammals have very large cerebral cortexes, unlike birds, fish or reptiles. The cerebellum in mammals houses the cerebral hemispheres, which are responsible for higher functions like memory, communication and thinking. Humans have the largest cerebral cortex of all mammals, relative to the size of their brains.

Heads up; we're looking at a grislier brain myth next.

Brain Myth 5: Your Brain Stays Active After You Get Decapitated
At one time in history, decapitation was one of the preferred methods of execution, in part thanks to the guillotine. Although many countries that execute criminals have dispatched with the method, it's still performed by certain governments, terrorists and others. There's nothing more final than the severing of one's head. The guillotine came about because of the desire for a quick, relatively humane death. But how quick is it? If your head were cut off, would you still be able to see or otherwise move it, even for just a few seconds?

This concept perhaps first appeared during the French Revolution, the very time period in which the guillotine was created. On July 17, 1793, a woman named Charlotte Corday was executed by guillotine for the assassination of Jean-Paul Marat, a radical journalist, politician and revolutionary. Marat was well-liked for his ideas and the mob awaiting the guillotine was eager to see Corday pay. After the blade dropped and Corday's head fell, one of the executioner's assistants picked it up and slapped its cheek. According to witnesses, Corday's eyes turned to look at the man and her face changed to an expression of indignation. Following this incident, people executed by guillotine during the Revolution were asked to blink afterward, and witnesses claim that the blinking occurred for up to 30 seconds.

Another often-told tale of demonstrated consciousness following beheading dates to 1905. French physician Dr. Gabriel Beaurieux witnessed the beheading of a man named Languille. He wrote that immediately afterward, "the eyelids and lips ... worked in irregularly rhythmic contractions for about five or six seconds." Dr. Beaurieux called out his name and said that Languille's eyelids "slowly lifted up, without any spasmodic contraction" and that "his pupils focused themselves" [source: Kershaw]. This happened a second time, but the third time Beaurieux spoke, he got no response.

These stories seem to give credence to the idea that it's possible for someone to remain conscious, even for just a few seconds, after being beheaded. However, most modern physicians believe that the reactions described above are actually reflexive twitching of muscles, rather than conscious, deliberate movement. Cut off from the heart (and therefore, from oxygen), the brain immediately goes into a coma and begins to die. According to Dr. Harold Hillman, consciousness is "probably lost within 2-3 seconds, due to a rapid fall of intracranial perfusion of blood" [source: New Scientist].

So while it's not entirely impossible for someone to still be conscious after being decapitated, it's not likely. Hillman also goes on to point out that the so-called painless guillotine is likely anything but. He states that "death occurs due to separation of the brain and spinal cord, after transection of the surrounding tissues. This must cause acute and possibly severe pain." This is one of the reasons why the guillotine, and beheading in general, is no longer an accepted method of execution in many countries with capital punishment.

If your head stays on your shoulders, though, it can still be damaged beyond repair. Next, let's take a look about how long brain damage can last.

Brain Myth 4: Brain Damage Is Always Permanent
Brain damage is an extremely scary thing. For something so mysterious and amazing, the brain can actually be quite fragile and susceptible to a multitude of injuries. Brain damage can be caused by anything from an infection to a car accident, and it essentially means the death of brain cells. To many people, the mere idea of brain damage conjures images of people in persistent vegetative states, or at the very least, permanent physical or mental disability.

But that's not always the case. There are many different types of brain damage, and exactly how it will affect someone depends largely on its location and how severe it is. A mild brain injury, such as a concussion, usually occurs when the brain bounces around inside the skull, resulting in bleeding and tearing. The brain can recover from minor injuries remarkably well; the vast majority of people who experience a mild brain injury don't experience permanent disability.

On the other end of the spectrum, a severe brain injury means that the brain has suffered extensive damage. It sometimes requires surgery to remove built-up blood or relieve pressure. For nearly all patients who live through a severe brain injury, permanent, irreversible damage results.

So what about those in between? Some people with brain damage experience permanent disability but can recover partially from their injury. If neurons are damaged or lost, they can't grow back -- but the synapses, or connections between neurons, can. Essentially, the brain creates new pathways between neurons. In addition, areas of the brain not originally associated with some functions can take over and allow the patient to relearn how to do things. Remember the phenomenon of brain plasticity mentioned in the myth about brain wrinkles? That's how stroke patients, for example, can regain speech and motor skills through therapy.

The important thing to remember is that there are still a lot of unknowns about the brain. When a person is diagnosed with a brain injury, it's not always possible for doctors to know exactly how well someone will be able to recover from the damage. Patients surprise doctors all the time and exceed expectations of what they're able to do days, months and even years later. Not all brain damage is permanent.

Speaking of brain damage, in the next myth, we'll look at the effects that drugs can have on our brains.

Brain Myth 3: You Can Get Holes in Your Brain Through Drug Use
Exactly how different drugs affect your brain is a pretty controversial subject. Some people claim that only the most severe drug use can have any lasting effects, while others believe that the first time you use a drug, you're causing long-term damage. One recent study states that using drugs like marijuana only cause minor memory loss, while another claims that heavy marijuana use can permanently shrink parts of your brain. When it comes to using drugs like cocaine or Ecstasy, some people even believe that you can actually get holes in your brain.

In truth, the only thing that can actually put a hole in your brain is physical trauma to it. Researchers do claim that drugs can cause short-term and long-term changes in the brain. For example, drug use can lower the impact of neurotransmitters (chemicals used to communicate signals in the brain) like dopamine, which is why addicts need more and more of the drug to achieve the same feeling. In addition, changes in the levels of neurotransmitters can result in problems with neuron function. Whether this is reversible or not is also up for debate.

On the other hand, a study in New Scientist from August 2008 states that long-term use of some drugs actually causes certain structures in the brain to grow, resulting in a permanent change. They claim that this is which is why it's so difficult to change the behaviors of addicts.

But although the jury's still out on exactly how different drugs can affect your brain for the long term, we can be reasonably sure of one thing: No drug actually puts holes in your brain.

Next up, let's see exactly what alcohol does to your brain.

Brain Myth 2: Alcohol Kills Brain Cells
Just one observation of a drunken person is enough to convince you that alcohol directly affects the brain. People who drink enough to get drunk often end up with slurred speech and impaired motor skills and judgment, among other side effects. Many of them suffer from headaches, nausea and other unpleasant side effects afterward -- in other words, a hangover. But are a few drinks on the weekend, or even the occasional long drinking session, enough to kill brain cells? What about binge drinking or the frequent, sustained drinking of alcoholics?

Not so much. Even in alcoholics, alcohol use doesn't actually result in the death of brain cells. It can, however, damage the ends of neurons, which are called dendrites. This results in problems conveying messages between the neurons. The cell itself isn't damaged, but the way that it communicates with others is altered. According to researchers such as Roberta J. Pentney, professor of anatomy and cell biology at the University at Buffalo, this damage is mostly reversible.

Alcoholics can develop a neurological disorder called Wernicke-Korsakoff syndrome, which can result in a loss of neurons in some parts of the brain. This syndrome also causes memory problems, confusion, paralysis of the eyes, lack of muscle coordination and amnesia. It can lead to death. However, the disorder isn't caused by the alcohol itself. It's the result of a deficiency of thiamine, an essential B vitamin. Not only are severe alcoholics often malnourished, extreme alcohol consumption can interfere with the body's absorption of thiamine.

So while alcohol doesn't actually kill brain cells, it can still damage your brain if you drink in mass quantities.

­How much of your brain did you use while reading this top 10 list? The next myth will explain all.

Brain Myth 1: You Only Use 10 Percent of Your Brain
We've often been told that we only use about 10 percent of our brains. Famous people such as Albert Einstein and Margaret Mead have been quoted as stating a variation of it. This myth is probably one of the most well-known myths about the brain, in part because it's been publicized in the media for what seems like forever. Where did it come from? Many sources point to an American psychologist of the early 1900s named William James, who said that "the average person rarely achieves but a small portion of his or her potential" [source: AARP]. Somehow, that was converted into only using 10 percent of our brain.

This seems really puzzling at first glance. Why would we have the biggest brain in proportion to our bodies of any animal (as discussed in the sixth myth in our list) if we didn't actually use all of it? Many people have jumped on the idea, writing books and selling products that claim to harness the power of the other 90 percent. Believers in psychic abilities such as ESP point to it as proof, saying that people with these abilities have tapped into the rest of their brains.

Here's the thing, though; it's not really true. In addition to those 100 billion neurons, the brain is also full of other types of cells that are continually in use. We can become disabled from damage to just small areas of the brain depending on where it's located, so there's no way that we could function with only 10 percent of our brain in use.

Brain scans have shown that no matter what we're doing, our brains are always active. Some areas are more active at any one time than others, but unless we have brain damage, there is no one part of the brain that is absolutely not functioning. Here's an example. If you're sitting at a table and eating a sandwich, you're not actively using your feet. You're concentrating on bringing the sandwich to your mouth, chewing and swallowing it. But that doesn't mean that your feet aren't working -- there's still activity in them, such as blood flow, even when you're not actually moving them.

Selasa, Agustus 26, 2008

Ini dia syarat Kampanye via SMS

Heru Sutadi, Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), mengatakan bahwa parpol peserta Pemilu 2009 sudah diperbolehkan melakukan kampanye via SMS. Ada lima syarat yang harus dipenuhi jika hendak berkampanye lewat SMS
Apa saja syarat-syarat itu? ini dia…

1. Kampanye harus mengikuti tata aturan kampanye sesuai Undang-Undang No. 10/2008 tentang Pemilu.
2. Operator wajib menjaga kerahasiaan data pengguna ponsel sehingga baik parpol, capres,cawapres dan calon anggota DPD tidak boleh melakukan push sms ke semua pelanggan. Melainkan hanya ke konstituen atau simpatisan yang terdaftar.
3. Operator harus adil memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh parpol dan calonnya
4. Kerjasama dengan parpol atau capres/cawapres dan calon anggota DPD harus dilakukan dengan pelaksana kampanye yang terdaftar di KPU.
5. Untuk menjaga kualitas layanan, frekuensi pengiriman akan dibatasi

*) dikutip dari Detikinet.

Jumat, Agustus 22, 2008

How to Avoid Hypothermia

The human body is somewhat like that perfect bowl of porridge in "Goldilocks and the Three Bears." It's not too hot, not too cold, but just right.
Our bodies maintain internal body temperatures that allow our insides to keep on cooking without burning up or slowing down -- usually around 98.6 degrees Fahrenheit (37 degrees Celsius). There's even a part of our brain called the hypothalamus that regulates this internal heat to keep everything running smoothly

But when that core temperature of major organs drops down to 95 degrees or lower, it is called hypothermia. Just like when you have a high fever, hypothermia can slow your body and possibly lead to death.
When it comes to our bodies, a lot depends on heat. Heat is the byproduct of biochemical reactions within our bodies. The food and beverages we consume are just like the wood and kindling that make a fire. Our bodies gain energy from food, and that energy pumps our hearts, grows our hair and helps our digestive system break that food down into usable units. This process is called metabolism.
Think about all of the internal processes that take place when you run. It requires energy to move so many parts of your body at the same time. When all those parts crank up, we burn up energy, producing heat.
In the cold, our bodies strive to retain as much heat, or energy, as possible. In many parts of the body, blood vessels in our skin tissue constrict, or tighten up. This tightening helps keeps blood away from the cold outer layer of the body and helps circulate warmer blood to our core areas. This tightening is also why you may feel stiff after being in the cold for a long time.
However, areas with large blood vessels, particularly around the head, neck, chest and groin, are more susceptible to heat loss because those blood vessels don't constrict as effectively as the smaller ones near the skin. That's why proper winter attire includes a hat, scarf and coat.­With all of these internal actions and reactions taking place within the body, what can we do to protect our core temperature and defend ourselves from hypothermia?


How to Avoid Death from Hypothermia
Nearly 700 people in the United States die each year from hypothermia [source: Mayo Clinic]. Hypothermia is a silent killer because once your body temperature drops below 95 degrees, you lose awareness of the cold and become disoriented because less oxygen reaches the brain. For that reason, take special precautions if you're alone in the cold. You may not be aware that your body is in peril.
Hypothermia Risk GroupsInfants and the elderly are the most at risk for developing hypothermia. Babies do not preserve body heat as well as adults, and the elderly may not have a high enough metabolism to stay warm. For both, it is important that their bedrooms not be too cold and that they are regularly monitored during the winter.
Groups of people should look after each other for the signs of hypothermia discussed in the previous section. If someone does appear hypothermic, there are a number of things that you can do to prevent that person from dying. In mild to moderate cases, the body can re-warm at a rate of 3.6 degrees per hour.
To start that warming process, first move into shelter. If there is nowhere to go indoors, at least move the person out of the wind, since wind can speed up hypothermia. Remove any wet clothing and replace them with dry blankets or even newspaper.
Getty ImagesNavy Seals huddle for warmth during training. Removing clothes and sharing body heat can keep people warm.
For people with mild or moderate hypothermia, some food and beverages may be helpful. Warm, sweet liquids, such as diluted gelatin mix or hot chocolate will give the body quick energy boosts to help it produce heat. Proteins, fats and carbohydrates in the form of trail mix and granola can also stimulate the metabolism. Do not give them alcohol or caffeine.
In more severe cases, getting a person out of any wet clothes and into a hypothermic wrap is essential. There should be several layers of insulation between the wrap and the cold ground. A hypothermic wrap covers every part of the body with as few open spaces as possible. A sleeping bag or multiple blankets can serve as hypothermic wraps, as long as the person is completely protected from the cold.
Additionally, extra clothing or blankets should be applied to the neck, groin, armpits and chest to protect major arteries. Sharing body heat by removing your clothes and getting into the wrap with the person may also prove beneficial, except in very severe cases. Also, do not apply heat directly to the skin or give the person a massage because it can circulate the colder blood near the skin to the core, shocking the body.
Johner/Getty ImagesHypothermic wraps cover people's bodies entirely while being insulated from cold ground.
CPR is another option if a hypothermic person's skin has turned blue, and you can't feel a pulse. But only do this if you are properly trained. If you stimulate the body too much with CPR, it can overexcite the heart and lead to cardiac arrest.
If possible, call 911 to get someone with severe hypothermia to a hospital. A doctor may hook up a person with hypothermia to an IV to put warming fluids directly into the body. He or she may also perform a procedure called hemodialysis, which takes the patient's blood out of the body, runs it through a warming mechanism, and returns it.